Loading...

Industri fesyen kini menjadi salah satu sektor yang memiliki pengaruh besar terhadap gaya hidup masyarakat sekaligus juga memiliki tantangan dalam upaya pelestarian lingkungan. Sebagai salah satu industri yang berpotensi menyumbang limbah tekstil, industri fesyen dituntut untuk bertransformasi menuju industri yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan

Dengan kekayaan budaya wastra dan kreativitas pelaku Industri Kecil dan Menengah (IKM), industri fesyen memiliki potensi besar untuk menerapkan konsep industri berkelanjutan. Transformasi ini tidak hanya mendukung pengurangan dampak lingkungan, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru yang melibatkan komunitas lokal, desainer muda, hingga pelaku IKM di berbagai daerah. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kementerian Perindustrian melalui Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) terus mengupayakan strategi pengembangan industri fesyen yang mendukung pertumbuhan industri ramah lingkungan.

Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka Kemenperin, Reni Yanita, menyampaikan berdasarkan laporan Global Green Growth Institute (GGGI) menunjukkan bahwa timbunan limbah tekstil nasional telah mencapai 2,3 juta ton per tahun dan berpotensi meningkat hingga 70 persen dalam beberapa tahun mendatang jika tidak dilakukan intervensi. Sementara itu, menurut Geneva Environment Network, secara global hanya 8 persen serat tekstil yang berasal dari material daur ulang, dan praktik textile-to-textile recycling masih sangat terbatas, yakni di bawah 1 persen.

“Kondisi ini menjadi alasan pentingnya kolaborasi lintas sektor, melibatkan pemerintah, pelaku usaha, komunitas, hingga pihak swasta untuk menghadirkan solusi nyata mempercepat transformasi industri agar tidak hanya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi juga menghadirkan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat,” ujar Reni dalam keterangannya di Jakarta, Senin (2/9).

Langkah ini diwujudkan melalui berbagai program strategis, termasuk membangun kolaborasi lintas sektor yang melibatkan pemerintah, komunitas, pelaku usaha kreatif, dan pihak swasta. Salah satu implementasinya yaitu melalui Balai Pemberdayaan Industri Fesyen dan Kriya (BPIFK) yang bersinergi dengan TRI Cycle dalam penyelenggaraan Sustainable Fashion Festival (SFF) 2025 yang digelar pada 2–3 Agustus 2025 di The Ambengan Tenten, Denpasar, Bali.

Festival ini mendapatkan sambutan antusias dari berbagai lapisan masyarakat dan menjadi wadah edukasi, kreativitas, sekaligus aksi nyata menuju fesyen berkelanjutan. Selama dua hari penyelenggaraan, SFF 2025 berhasil menarik perhatian 866 pengunjung. Dengan mengusung tema “Celebrate the Better Fashion”, festival ini menghadirkan beragam program inspiratif, antara lain fashion show dari delapan sustainable brand, pameran 17 karya pemenang Indonesia Fashion and Craft Award (IFCA), serta workshop kreatif seperti ecoprint, plastic fusion, dan crochet.

SFF juga menghadirkan tiga sesi talkshow edukatif dengan lebih dari 120 peserta, Repair Corner bersama komunitas penjahit lokal, serta Clothes Swap yang berhasil mengumpulkan 760 kilogram pakaian bekas. Sementara itu, Bazar IKM menghadirkan 39 brand dari Bali, Jawa, Yogyakarta, Lampung, Papua, dan Jakarta dengan total transaksi penjualan lebih dari Rp 58 juta. Tak ketinggalan, Klinik SINI BISA mendapat perhatian positif dengan layanan konsultasi legalitas usaha seperti NIB, SIINas, dan TKDN IK bagi pelaku IKM fesyen.

Reni mengatakan bahwa antusiasme masyarakat dan pelaku IKM pada penyelenggaraan festival ini menjadi bukti meningkatnya minat masyarakat terhadap fesyen berkelanjutan. Ia juga menekankan pentingnya menjaga semangat ini agar terus berkembang dan memberi dampak luas bagi pelaku industri lokal.

“Melihat antusiasme masyarakat di SFF 2025, kami optimistis industri fesyen Indonesia memiliki masa depan yang cerah dengan pendekatan industri yang berkelanjutan. Kami berharap festival ini menjadi langkah awal bagi terciptanya ekosistem fesyen yang lebih bertanggung jawab, inklusif, dan berdaya saing global,” ujar Reni.

Kepala Balai Pemberdayaan Industri Fesyen dan Kriya (BPIFK) Dickie Sulistya Aprilyanto, menambahkan pada kesempatan yang sama, festival ini menjadi ajang peluncuran dua inisiatif baru yang digagas oleh Brand TRI Cycle, alumni program Creative Business Incubator BPIFK 2018, yakni Rekynd Hub dan Brickini. Peluncuran ini menjadi langkah penting dalam mempertegas posisi SFF 2025 sebagai pusat inovasi keberlanjutan berbasis komunitas.

“Kedua inisiatif tersebut tidak hanya menawarkan solusi kreatif dalam pengelolaan limbah tekstil, tetapi juga mengedukasi masyarakat untuk menghargai pakaian dari sisi fungsi dan keberlanjutan, bukan semata mengikuti tren,” ujar Dickie.

Dickie menjelaskan Rekynd Hub diperkenalkan sebagai wadah pengelolaan tekstil dengan konsep textile circularity, di mana pengunjung dapat menyumbangkan pakaian bekas, mengolahnya kembali, sekaligus membeli pakaian preloved lokal (non-impor) melalui sistem unik berbasis berat. Sedangkan Brickini merupakan hasil kolaborasi TRI Cycle dan Parongpong Raw Lab yang mengolah limbah pakaian renang dari produsen swimwear di Bali.

“Kami ingin mendorong masyarakat untuk melihat pakaian bukan hanya sebagai produk konsumsi jangka pendek, tetapi juga sebagai aset yang bisa diberdayakan kembali, memberikan nilai baru, dan mengurangi timbulan limbah tekstil,” ucap Dickie.

Demikian Siaran Pers ini untuk disebarluaskan.