Kementerian Perindustrian berupaya meningkatkan kemampuan bisnis pelaku industri kecil dan menengah (IKM) di sektor furnitur sehingga produknya dapat menjangkau pasar-pasar nontradisional atau selain yang pernah dijajaki. Sebab, kondisi ekonomi global yang dinamis dapat menimbulkan tantangan perdagangan yang memengaruhi kinerja sektor industri furnitur selama ini.
“Kami akui memang dibutuhkan strategi perluasan pasar baru nontradisional, atau di luar Amerika Serikat, seperti Eropa Timur, Timur Tengah, Amerika Latin, dan negara Asia seperti India dan Jepang. Namun, ketika memperluas pasar Eropa, tentu harus memperhatikan bukan hanya soal kualitas desain, tetapi juga kepatuhan standar keamanan dan lingkungan,” ungkap Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka Kemenperin, Reni Yanita dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (20/11).
Reni memaparkan, industri furnitur merupakan salah satu sektor hilir padat karya yang memiliki nilai tambah tinggi dan memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional. Berdasarkan data triwulan III tahun 2025, industri furnitur berkontribusi sebesar 0,92% terhadap PDB nonmigas, dengan nilai ekspor mencapai USD 0,92 miliar sampai dengan t riwulan II tahun 2025 atau meningkat tipis dari periode tahun sebelumnya ( year on year) sebesar USD 0,91 miliar . Adapun tujuan ekspor terbesar industri furnitur adalah Amerika Serikat dengan pangsa mencapai 54.6% dari total ekspor furnitur nasional.
Demkian pun dengan kinerja sektor industri kerajinan, yang pada t riwulan II tahun 2025 mencatat nilai ekspor sebesar US D 173,49 juta atau mengalami peningkatan 9,11% dari tahun sebelumnya ( year on year ). “ Sektor furnitur dan kerajinan Indonesia tidak hanya mencerminkan kreativitas dan keterampilan pembuatnya, namun juga menunjukkan keunggulan sumber daya lokal. Selain itu dengan didukung bahan baku yang berkualitas dan beragam jenis, menjadi daya tarik sendiri bagi pasar ekspor ,” ucap Reni.
Tantangan Pasar Global dan Potensi Pasar Alternatif
Kendati kinerjanya cukup cemerlang, industri furnitur sangat dipengaruhi oleh dinamika pasar global. Salah satunya yaitu dari kebijakan tarif resiprokal Pemerintah Amerika Serikat. Kebijakan tarif ini tak hanya ditujukan kepada Tiongkok, tetapi mencakup hampir seluruh negara yang memiliki surplus perdagangan dengan Amerika Serikat, termasuk Indonesia.
Berdasarkan kebijakan terakhir yang dikeluarkan pada 26 September 2025, tarif sebesar 50% dikenakan untuk produk lemari dapur dan meja rias kamar mandi . S edangkan untuk furnitur berlapis kain dikenakan tarif sebesar 30%. “ Kebijakan ini tentu saja memberikan multiplier effect terhadap sektor industri. Bahkan beberapa IKM sudah mulai berkeluh kesah banyaknya pending order dari buyer Amerika, serta timbulnya kenaikan biaya logistik pengiriman ,” ungkap Reni.
Oleh sebab itu, Ditjen IKMA Kemenperin berupaya membuka peluang-peluang pasar alternatif yang dapat ditembus oleh pelaku IKM furnitur. Tak hanya melalui diplomasi dan negosiasi, Ditjen IKMA Kemenperin juga mengakselerasi kemampuan pelaku IKM agar dapat menerapkan strategi baru dalam menembus pasar. Yaitu dengan memahami standar keamanan dan standar kualitas desain produk dari pasar yang dituju, termasuk dalam pemilihan bahan yang ramah lingkungan.
“P emilihan bahan finishing menjadi krusial dalam proses produksi . Contohnya saja n egara Jerman, Belanda, dan Kanada yang telah memberlakukan regulasi terhadap emisi senyawa kimia berbahaya seperti VOC ( Volatile Organic Compound ). Selain itu banyak standar lain yang digunakan seperti Standar formaldehida oleh EPA , Sertifikasi ECO Mark oleh Jepang, Sertifikasi Dubai Central Laboratory (DCL) ,” terang Dirjen IKMA.
Reni menegaskan, IKM perlu terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam memilih produk atau bahan untuk finishing atau di proses akhir. “Salah satunya yaitu dengan meningkatkan teknik finishing berbahan cat berbasis air (water based coating),” kata Reni.
Pelaksana Tugas Direktur IKM Pangan, Furnitur, dan Bahan Bangunan, Yedi Sabaryadi menambahkan, Ditjen IKMA berkolaborasi dengan pihak swasta, yakni PT Propan Raya dalam mengedukasi IKM furnitur tentang pentingnya kualitas cat demi meningkatkan mutu produk agar terus berdaya saing melalui Pameran Mebel dan Kerajinan UMKM se-Jawa Timur pada 13 November 2025 di Surabaya. Keberadaan PT Propan, lanjut Yedi, menjadi suatu keuntungan bagi industri furnitur tanah air agar dapat bekerja sama naik kelas dan memperkuat kemandirian industri nasional.
Selain melalui strategi edukasi tersebut, Ditjen IKMA juga mempunyai beberapa program yang dapat dimanfaatkan oleh IKM furnitur mulai dari peningkatan SDM terampil melalui pelatihan, pendampingan, serta fasilitasi sertifikasi produk dan keahlian. Dari segi peningkatan kapasitas produksi, terdapat program fasilitasi dan restrukturisasi mesin peralatan.
“ Program restrukturisasi mesin ini sangat diminati IKM karena memberikan cashback pembelian mesin mulai dari 25-40% bagi IKM yang melakukan pembelian mesin peralatan baru ,” ungkap Yedi.
Selain itu Ditjen IKMA juga memfasilitasi ketersediaan jasa layanan teknis permesinan melalui program Dana Alokasi Khusus (Program DAK) di Kabupaten/Kota, serta fasilitasi sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) secara gratis untuk industri skala kecil yang dapat membantu IKM mengembangkan usahanya.
Dalam bidang pembiayaan, pemerintah juga memiliki program Kredit Industri Padat Karya (KIPK) bekerja sama dengan Bank Himbara dan BPD untuk industri furnitur, makanan dan minuman, tekstil, pakaian jadi, kulit, barang dari kulit, dan alas kaki, serta mainan anak.
“ Program ini berupa pemberian subsidi bunga sebanyak 5% untuk pembiayaan investasi mesin/ peralatan dan modal kerja, dengan plafon Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 miliar ,” tambah Yedi.
Demikian siaran pers ini untuk disebarluaskan.