Pada tahun 2015 PBB telah mencanangkan Sustainable Development Goals (SDGs) untuk melanjutkan pendahulunya, Millennium Developmen Goals (MDGs) dalam misinya mendukung masa depan yang lebih berkelanjutan. Masalah lingkungan, ekonomi, dan sosial merupakan permasalahan yang kompleks serta berhubungan dengan banyak aspek dalam kehidupan.
Dalam SDGs pembahasan lebih holistik terhadap kompleksitas masalah kemiskinan dan hak asasi/kesejahteraan manusia yang kemudian dikelompokkan menjadi 17 tujuan dan 169 target dengan harapan tujuan tersebut dapat dicapai pada tahun 2030. IKM maupun UMKM memiliki kontribusi yang sangat berpengaruh terhadap ketercapaian SDGs. Selain karena target agenda SDGs adalah melibatkan dan diperuntukkan seluruh masyarakat di dunia tanpa terkecuali, lebih spesifik contohnya pada SDG 2 yang bertujuan menciptakan dunia yang bebas dari kelaparan dan SDG 11 yang bertujuan untuk menjadikan kota dan komunitas tangguh yang berkelanjutan.
World Economic Forum juga menyampaikan bahwa salah satu tools dalam SDGs yang sangat berpengaruh untuk menumbuhkan ekonomi yang baik pada negara berkembang maupun negara maju adalah IKM. Selain berfungsi sebagai jembatan antara ekonomi formal maupun informal, IKM juga berperan menggerakkan aliran rantai pasok dari hulu ke hilir yang menciptakan hubungan desa-kota, dan mendistribusikan kekayaan secara merata dengan menyebarkan kegiatan ekonomi. IKM juga dapat menjadi penyelamat di berbagai lapisan masyarakat dalam menghadapi gejolak ekonomi pada saat terjadi krisis ekonomi glogal.
Senada dengan gerakan SDGs, Pemerintah saat ini juga terus mendorong semakin berkembangnya pelaku industri yang berkelanjutan. Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka, Kementerian Perindustrian, Reni Yanita menyampaikan di Jakarta (18/1), “Konsep Sustainable Industry atau Industri Berkelanjutan, merupakan sebuah konsep yang kini menjadi sebuah gerakan dimana pelaku industri mengedepankan nilai-nilai dari seluruh aspek maupun pihak yang terlibat dalam rantai pasok industri”.
Reni mengungkapkan, “Secara umum, Sustainable Industry menjadikan kepentingan lingkungan dan kemanusiaan sebagai aspek yang diprioritaskan. Adapun pemicu gerakan ini yaitu berbagai keadaan seperti kerusakan lingkungan, peningkatan limbah, pola konsumtif yang berlebihan, rendahnya kesejahteraan tenaga kerja, persaingan bisnis yang tidak seimbang, serta pemborosan sumber daya alam”.
Salah satu sektor industri yang sangat berperan besar bagi perekonomian nasional, adalah sektor industri alas kaki. Adapun tingkat persaingan pada industri alas kaki global cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari tingkat produksi dan konsumsi alas kaki di dunia yang meskipun masih dalam pandemi Covid-19 dan terdapat pembatasan produksi di beberapa negara, pada tahun 2021 produksi alas kaki global meningkat sebesar 8,6% mencapai angka 22 miliar pasang. Reni Yanita juga menyampaikan, “Industri alas kaki di Indonesia merupakan salah satu sektor industri yang memiliki potensi pasar lokal dan global yang harus dimaksimalkan oleh produk alas kaki dalam negeri. Berdasarkan data World Footwear Yearbook 2022, di tahun 2021 Indonesia merupakan konsumen produk alas kaki terbesar keempat di dunia dengan total konsumsi sebesar 806 juta pasang sepatu atau 3,8% dari total konsumsi produk alas kaki dunia”.
“Di tahun 2021, Indonesia juga merupakan eksportir alas kaki terbesar ketiga di dunia setelah China dan Vietnam. Kuantitas ekspor produk alas kaki Indonesia mencapai angka 427 juta pasang, atau 3,3% dari total produk alas kaki yang diekspor di seluruh dunia,” ungkap Reni. Data ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif dan mendukung eskalasi beberapa SDGs diantaranya SDG1 (menghapus kemiskinan), SDG2 (mengakhiri kelaparan), SDG8 (pekerjaan layak dan pertumbuhan), SDG 10 (mengurangi ketimpangan). Setiap tujuan pada SDGs saling berkaitan, sehingga poin tujuan dari masing-masing SDG secara tidak langsung mempengaruhi tujuan lainnya terutama pada sisi lingkungan (SDG6, SDG12, SDG13) serta sisi manusia (SDG3, SDG4, SDG5).
SDGs Mendorong Transformasi IKM Alas Kaki yang Lebih Beretika
Industri alas kaki masuk dalam industri padat karya karena mekanisme produksi pada industri ini lebih menekankan penggunaan tenaga kerja dalam jumlah besar. Kinerja sektor industri alas kaki juga berperan besar bagi perekonomian di Indonesia.
“Kinerja industri alas kaki dalam negeri yang tergabung dalam sektor Industri Kulit, Barang dari Kulit, dan Alas Kaki tetap tumbuh positif. Kontribusi sektor tersebut terhadap PDB di tahun 2021 mencapai angka Rp. 28,169 triliun atau tumbuh sebesar 7,7% dari tahun 2020 dengan pertumbuhan Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki di semester 1 tahun 2022 tumbuh sebesar 10,6% serta memiliki kontribusi PDB sebesar Rp. 15,357 triliun,” jelas Reni.
Reni juga menambahkan, “Adapun kinerja ekspor tahun 2022 semester 1 ekspor alas kaki sebesar USD 3,956 milyar atau naik dibandingkan tahun 2021 semester 1 (USD 2,857 milyar)”.
Pada negara berkembang penerapan mekanisme industri padat karya kerap dipilih dikarenakan kebutuhan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan biaya mesin, serta dapat menyerap banyak tenaga kerja sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran di suatu daerah. Hal ini tentu mendukung SDG8 (memberikan pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi ). Tujuan pada SDG5 (kesetaraan gender) pun terpenuhi karena dalam praktiknya semua gender mendapatkan kesempatan yang sama. Hal ini juga didorong dengan tingginya tingkat pemberdayaan ibu rumah tangga pada unit usaha IKM. Dampaknya pun meningkatkan kesejahteraan dan ketercukupan manusia dalam menjalani hidupnya yang termasuk dari dari tujuan SDG3.
Keterlibatan manusia dalam praktik industri menuntut sistem, inovasi, serta infrastruktur yang lebih ramah terhadap manusia baik pekerja maupun pengguna sehingga mendukung tujuan SDG9 dan SDG3. Kebijakan yang diterapkan harus bisa memberikan jaminan kerja yang layak dan adil untuk kesejahteraan pekerja. Salah satu contohnya adalah dengan memperhatikan resiko pekerjaan serta asuransi keselamatan kerja para pekerja yang dijadikan prioritas untuk tercapainya pengembangan yang berkelanjutan.
Industri hijau yang diatur dalam UU No. 3 tahun 2014 tentang Perindustrian mengutamakan pada efektifitas, efisiensi penggunaan sumber daya dalam proses produksinya secara berkelanjutan, sehingga pembangunan industri yang bertanggung jawab dan dapat memberikan manfaat terhadap masyarakat. Selaras dengan tujuan SDG15 (menjaga ekosistem darat) dan SDG12 (konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab) pemerintah telah mengupayakan dari kebijakan yang telah dibuat. Beberapa IKM telah menerapkan prinsip tersebut dengan penggunaan material dan memperhatikan proses produksi hingga penjualan yang lebih berkelanjutan, contohnya Pijak Bumi yang berupaya dalam setiap desainnya menggunakan ecofriendly material, serta pada IKM penyamakan kulit di daerah Magetan maupun Jogja yang melakukan pengelolaan limbah sisa penyamakan.
Kebutuhan primer IKM alas kaki di Indonesia secara alami akan membentuk suatu perkumpulan atau komunitas yang bisa saling berkolaborasi. Keadaan ini biasanya akan membentuk sentra-sentra produksi maupun pemasaran yang terintegrasi. Seperti sentra sepatu Cibaduyut dan sentra kulit Magetan, mereka membuat tata wilayah sebagai wadah dari aktivitas tersebut. Namun pandemi Covid-19 sempat membekukan beberapa lingkaran sentra-sentra yang secara organik telah terbentuk sebelumnya.
Hal inilah yang menjadi pemicu bagi Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian untuk dapat mendorong kemitraan antar pelaku industri alas kaki, khususnya yang masih berskala IKM untuk dapat saling berkolaborasi demi keberlangsungan dan perkembangan industri alas kaki nasional. Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka, Reni Yanita juga menyampaikan, “Di era industri 4.0, Balai Pemberdayaan Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI) sebagai salah satu unit kerja Ditjen IKMA melihat pola dari hubungan dan potensi kemitraan setiap stakeholder pada industri alas kaki membentuk sebuah ekosistem yang bisa dilakukan replikasi dalam dunia digital yang dimana ekosistem ini dapat menghubungkan antar stakeholder dalam pemenuhan kebutuhan yang lebih luas dan diharapkan dapat memberi kebermanfaatan yang lebih besar”.
BPIPI telah meluncurkan Indonesia Footwear Network (IFN) yang menghubungkan stakeholder pelaku industri alas kaki di Indonesia. “IFN dapat diakses pada ifn.bpipi.id dan tidak hanya dari IKM alas kaki yang mampu berperan, dalam ekosistem digital ini terdapat industri penyedia produk/jasa/layanan dari hulu ke hilir sehingga komunikasi bisa terjalin lebih mudah sekaligus mempermudah aliran supply chain pada industri alas kaki,” terang Reni.
Adanya SDGs dapat mendukung transformasi industri alas kaki di Indonesia untuk dapat lebih beretika dengan mengupayakan prioritas dan pertimbangan lebih besar terhadap human side (sisi manusia), enviromental side (sisi lingkungan), serta pola organik yang terbentuk pada masyarakat IKM dalam mencapai tujuan bersama.
Demikian Siaran Pers ini untuk disebarluaskan.