Loading...

Peningkatan kemampuan sentra IKM, menjadi salah satu upaya penting dalam mendongkrak daya saing IKM di Indonesia. Kementerian Perindustrian melalui Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka tak henti melakukan pembinaan dalam rangka peningkatan kemampuan sentra, baik melalui pendampingan, maupun bantuan mesin dan/atau peralatan.

“Kegiatan pendampingan ini merupakan program fasilitasi dan pembinaan kelompok masyarakat dengan pendekatan pada sentra IKM. Data BPS tahun 2020 menunjukkan terdapat 13.762 sentra yang masing-masing memiliki komoditas unggulan yang potensial untuk dikembangkan,” ucap Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka Kemenperin Reni Yanita di Jakarta, Kamis (25/5).

Sentra IKM merupakan sekelompok IKM dalam satu lokasi, yang berproduksi menggunakan bahan baku sejenis dan/atau melakukan proses produksi yang sama. Tercatat sebanyak 516.124 total unit usaha yang berada di dalam sentra, dengan keunikan komoditas masing-masing, baik dari segi bahan baku, hingga produk hasil yang lekat dengan kearifan budaya lokalnya.

Reni turut mengungkapkan, Kalimantan Selatan menjadi salah satu provinsi yang memiliki sentra terbanyak di pulau seribu sungai itu. “Pada pertengahan Mei lalu,  Ditjen IKMA telah melakukan pendampingan di sentra olahan hortikultura yang berada di Kabupaten Tapin, khususnya untuk pengolahan cabai rawit Hiyung,” terang Reni. 

“Produk hortikultura merupakan salah satu komoditi pertanian yang mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi produk unggulan yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia, khususnya di Kabupaten Tapin,” ucap Reni.

Kabupaten Tapin di Kalimantan Selatan terkenal memiliki komoditas hortikultura potensial berupa cabai. Data Badan Pusat Statistik tahun 2022 menunjukkan hasil panen cabai rawit di Kabupaten Tapin merupakan yang terluas di Kalimantan Selatan, yaitu mencapai 479 hektare dengan produksi hingga 2.015,7 ton. Salah satu varietas cabai lokal unggulan di Kabupaten Tapin adalah cabai rawit Hiyung, yang namanya berasal dari Desa Hiyung, desa tempat tumbuh varietas tersebut. 

Cabai Rawit Hiyung telah terdaftar sebagai varietas tanaman hortikultura di Kementerian Pertanian pada tahun 2016, yang memberikan konsekuensi berupa tanggung jawab atas perkembangan dan pembudidayaannya agar keberadaanya tetap terjaga dan tetap lestari kepada Pemerintah Kabupaten Tapin. Selain itu, Cabai Rawit Hiyung Tapin juga telah terdaftar sebagai produk Indikasi Geografis Indonesia pada tahun 2020.

Cabai ini dianggap sebagai varietas unik yang dapat dikembangkan dan diolah menjadi beragam produk. Direktur IKM Pangan, Furnitur, dan Bahan Bangunan Ditjen IKMA, Yedi Sabaryadi mengatakan, “Menurut Dinas Pertanian Kabupaten Tapin, Cabai Rawit Hiyung memiliki tingkat kepedasan mencapai 2.333,05 ppm (kadar capcaisin) jauh lebih tinggi dibanding cabai rawit lainnya. Dengan teknologi yang tepat, cabai unik ini dapat dikembangkan jadi beraneka ragam makanan sehingga dapat memberi nilai tambah bagi petani”. 

Yedi menambahkan, banyak komoditas hortikultura yang mempunyai nilai tinggi dalam bentuk segar, namun saat pascapanen, komoditas tersebut cepat rusak  sehingga memerlukan penanganan khusus untuk menjaga kualitas produk. Selama ini, banyak petani dan pelaku IKM di Tapin terbiasa hanya menjual cabai segar dan abon cabai. Padahal, lanjut Yedi, cabai Hiyung bisa diolah menjadi aneka produk seperti sambal, bubuk cabai kering, minyak cabai, saos, dan sebagainya.

“Selama empat hari pendampingan, kita berhasil mengolah cabai Hiyung menjadi delapan produk,” ucap Yedi.

Menurut Yedi, petani dan pelaku IKM di sentra sebetulnya membutuhkan  pendampingan diversifikasi produk dan teknologi penanganan pascapanen dan untuk memperpanjang umur simpan komoditas melalui pengawetan dan ragam pengolahan. 

“Teknologi pengawetan bertujuan tidak mengubah bentuk asli bahan, tetapi dapat memperpanjang umur simpan bahan baku. Sedangkan teknologi pengolahan bertujuan untuk mengubah bentuk asli bahan yang dapat memberikan nilai tambah serta penganekaragaman produk pangan dengan tetap memperhatikan keamanan pangan,” kata Yedi.

Faktor keamanan pangan ini juga menjadi poin penting di sektor industri pangan, baik untuk pasar dalam negeri maupun luar negeri. Kendati demikian, Yedi mengakui banyak IKM pangan yang belum memenuhi standar GMP (Good Manufacturing Practices) atau Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB). Hal ini dapat dilihat dari bangunan dan sarana produksi yang kurang menunjang, sanitasi dan higienitas karyawan yang kurang, mesin peralatan yang belum sesuai dengan persyaratan, serta pengawasan proses produksi yang kurang baik dan spesifikasi produk akhir yang tidak konsisten. 

“Kementerian Perindustrian melalui Ditjen IKMA terus berupaya untuk mendorong pelaku IKM memahami dan menerapkan sistem keamanan pangan di industri melalui kegiatan pendampingan dengan harapan pelaku IKM semakin produktif dan berdaya saing,” tutup Yedi.

Demikian Siaran Pers ini untuk disebarluaskan.