Loading...

Kriya Nusantara bukan sekadar hasil kerajinan tangan, melainkan warisan budaya yang merekam jejak sejarah, identitas lokal, dan filosofi hidup masyarakat Indonesia. Dari wastra tenun yang rumit hingga kerajinan logam tempa yang sarat makna, setiap produk kriya mencerminkan kearifan lokal yang telah diwariskan lintas generasi.

Dengan potensi budaya dan ekonomi besar yang terkandung dalam industri kriya, Kementerian Perindustrian terus mendorong penguatan sektor industri kecil dan menengah (IKM) kriya melalui berbagai program pembinaan, peningkatan kapasitas desain, inovasi berkelanjutan, serta fasilitasi akses pasar nasional dan global. Salah satu upaya yang diwujudkan adakah dalam bentuk penyelenggaraan Webinar bertema “Kolaborasi Kreatif Tingkatkan Nilai Ekonomi Produk Kriya Nusantara – Dari Warisan Budaya Menjadi Primadona Pasar Global”, pada Jumat, 25 Juli 2025. Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya Ditjen IKMA dalam memperkuat sektor industri kriya yang mengakar pada warisan budaya lokal, namun dikemas dengan pendekatan inovatif dan kolaboratif.

Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (Dirjen IKMA), Reni Yanita, menyampaikan bahwa kekayaan kriya Indonesia adalah warisan tak ternilai yang menyimpan nilai estetika, sejarah, dan filosofi hidup masyarakat lokal yang telah diwariskan lintas generasi.

"Warisan budaya Indonesia mencerminkan keragaman identitas dan kearifan lokal yang tidak hanya memiliki nilai sejarah, tetapi juga menyimpan potensi ekonomi yang luar biasa jika dikelola dengan tepat," ujar Reni dalam sambutannya pada acara Webinar secara daring di Jakarta, Jumat (25/7).

Reni menambahkan salah satu tantangan utama pada produk kriya nusantara adalah meningkatkan minat generasi muda untuk meneruskan profesi sebagai perajin. Mengingat seiring pesatnya arus globalisasi dan modernisasi, banyak kerajinan tradisional yang kini harus mampu bersaing dengan produk modern maupun produk yang berasal dari luar negeri. “Banyak warisan budaya yang kini harus mampu beradaptasi dengan kondisi pasar dikarenakan berubahnya gaya hidup masyarakat yang lebih menyukai produk instan dan serba modern,” jelasnya.

Tantangantersebut harus dijawab dengan terus menyebarkan dan mengedukasi pasar tentang pengetahuan tradisional, nilai filosofi, dan identitas lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Selain itu persaingan di pasar global juga menuntut pelaku industri kriya untuk dapat terus meningkatkan inovasi, kualitas, dan daya saing harga.

“Pelestarian harus dilakukan melalui dukungan kebijakan, pemberdayaan komunitas, pendidikan budaya sejak dini, dan pengembangan pasar agar kerajinan tradisional tetap relevan di era modern,” ucap Reni.

Menghadapi hal tersebut, Reni menekankan pentingnya kolaborasi kreatif sebagai strategi pelestarian dan pemberdayaan. Kolaborasi yang dimaksud tidak hanya antar pelaku industri, tetapi juga lintas sektor, melibatkan perajin tradisional, desainer muda, komunitas kreatif, akademisi, dan pelaku bisnis. “Dengan kolaborasi, warisan budaya tidak hanya dilestarikan sebagai artefak masa lalu, tapi dikembangkan menjadi produk masa depan yang relevan dengan selera dan kebutuhan pasar saat ini,” ungkap Reni.

Salah satu contoh nyata keberhasilan pendekatan ini ditunjukkan oleh brand Manamu Handwoven, yang turut menjadi narasumber dalam webinar. Manamu berhasil mengangkat dua budaya tradisional lokal yaitu Lulu Amah dan Mamuli ke dalam produk kriya modern, berfokus pada pemberdayaan perempuan lokal dan keberlanjutan melalui produk-produk kriya khas dari Waingapu NTT. 

Lulu Amah merupakan seni tenun menggunakan kawat baja, tembaga, dan kuningan yang menghasilkan produk-produk home décor seperti lampu, artwork, dan aneka macam perhiasan. Sedangkan Mamuli adalah kawat kuningan yang ditempa dengan teknik turun temurun. 

Keberhasilan brand Manamu dalam menembus pasar mancanegara didorong oleh brand story yang kuat, kualitas produk tinggi, dan komitmen nyata terhadap komunitas. Selain itu, adaptasi pasar dan kolaborasi dengan influencer serta media meningkatkan visibilitas dan daya tarik brand di pasar lokal dan internasional. Menurut Reni keberhasilan ini menjadi bukti bahwa nilai lokal dan inovasi dapat saling melengkapi untuk menembus pasar global.

Webinar ini juga menjadi forum berbagi praktik baik antar pelaku industri kriya, mempertemukan pemangku kepentingan dari Dekranasda provinsi seluruh Indonesia, pelaku IKM, desainer, hingga penggiat budaya. Kegiatan ini diharapkan menjadi ruang belajar sekaligus inspirasi untuk membangun produk kriya yang lebih kompetitif, tanpa meninggalkan akar budaya.

“Kami berharap, kolaborasi lintas sektor dapat terus ditingkatkan untuk menjamin keberlangsungan industri kriya yang berkelanjutan dan mampu bersaing secara global. Melalui kegiatan seperti ini, kami ingin mendorong perajin Indonesia untuk lebih percaya diri menembus pasar dunia,” ucap Reni.

Kepala Balai Pemberdayaan Industri Fesyen dan Kriya (BPIFK), Dickie Sulistya Aprilyanto, menyampaikan apresiasinya terhadap kolaborasi berbagai pihak dalam mendorong penguatan industri kriya. Dickie menekankan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk nyata dari sinergi antara Ditjen IKMA, Dewan Kerajinan Nasional, Dekranasda seluruh Indonesia, dan pelaku industri untuk keberlanjutan dan peningkatan daya saing IKM kriya. Menurutnya, “Webinar ini menjadi langkah penting dalam menyatukan visi bahwa kriya bukan hanya soal estetika budaya, tetapi juga soal keberlanjutan ekonomi masyarakat,” ujarnya.

Dickie juga menambahkan bahwa kegiatan ini penting untuk meningkatkan wawasan pelaku IKM, sekaligus membekali mereka dengan strategi agar mampu memanfaatkan potensi industri kriya yang semakin berkembang. Ia berharap peserta dapat memperoleh inspirasi baru dan semangat dalam menciptakan produk kriya yang tidak hanya bernilai tradisi, tetapi juga mampu menjawab tantangan pasar modern. “Semoga kegiatan ini membawa manfaat nyata dalam mendorong lahirnya pelaku kriya yang tangguh dan berorientasi pada keberlanjutan,” ucap Dickie.

Demikian Siaran Pers ini untuk disebarluaskan.