“Industri batik yang berkelanjutan merupakan bentuk kecintaan kita terhadap kekayaan budaya dan alam nusantara. Namun transformasi menuju industri yang berkelanjutan tersebut harus menyentuh segala sisi agar lebih efektif, karena itu kerja sama antar pihak sangat dibutuhkan,” ucap Dirjen IKMA Reni Yanita di Jakarta, Selasa (5/8).
Salah satu penerapan prinsip keberlanjutan pada industri batik dapat dilakukan melalui pendekatan produksi, namun hal tersebut perlu didukung dari aspek-aspek lainnya. Di antaranya yaitu aspek regulasi atau kebijakan, penggunaan teknologi, standardisasi, pengurangan dampak lingkungan, serta dukungan konsumen dan masyarakat.
“Karena bagaimanapun, transformasi industri membutuhkan kesadaran kolektif kita bersama,” imbuh Reni.
Untuk menciptakan ekosistem batik berkelanjutan, Ditjen IKMA bekerja sama dengan satuan kerja di lingkungan Kemenperin, serta pemangku kepentingan lainnya, seperti asosiasi, kementerian/lembaga, hingga pelaku usaha batik. Melalui kolaborasi, Reni berharap Ditjen IKMA dapat memperoleh wawasan lintas disiplin yang saling melengkapi, sehingga kebijakan yang diambil dalam mewujudkan ekosistem industri batik berkelanjutan menjadi tepat sasaran dan efektif.
Direktur IKM Kimia, Sandang, dan Kerajinan, Budi Setiawan, mengemukakan, demi mengangkat kesadaran kolektif terhadap upaya kolaborasi demi mewujudkan ekosistem industri batik berkelanjutan ini, Ditjen IKMA menggelar diskusi dengan berbagai stakeholder , bersamaan dengan agenda Gelar Batik Nusantara pada akhir Juli 2025.
Diskusi tersebut berlangsung dalam kegiatan talkshow bertajuk “Cinta Wastra Nusantara: Penerapan Keberlanjutan Lingkungan pada Industri Batik” , sebagai bagian acara pameran Gelar Batik Nusantara (GBN) 2025 yang berlangsung dari 30 Juli - 3 Agustus 2025 lalu. Kegiatan tersebut menghadirkan beberapa pembicara di antaranya, Kepala BBSPJI Kerajinan dan Batik, Jonni Afrizon; Pembina Industri Ahli Madya Pusat Industri Hijau, Achmad Taufik; Pengendali Dampak Lingkungan Ahli Muda Kementerian Lingkungan Hidup, Marni Sulistyowati; dan Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), Komarudin Kudiya.
“Kami menyoroti isu batik berkelanjutan ini dari sudut pandang latar belakang instansi yang berbeda, dan berupaya merumuskan tentang langkah-langkah yang dapat kami lakukan untuk bersama mewujudkannya,” kata Budi Setiawan.
Sementara itu, Kepala BBSPJI mengupas upaya keberlanjutan IKM Batik dari sisi produksi, terutama pada bahan baku dan bahan penolong. Idealnya bahan yang digunakan dalam produksi batik bersifat alami, mudah terurai ( biodegradable ), dan menghindari bahan kimia berbahaya. Menurut Jonni, hal ini sangat mungkin dilakukan karena didukung oleh sumber daya alam melimpah dari hutan Indonesia.
Dari kaca mata perajin dan pengusaha, Komarudin mengamini tentang pentingnya pemilihan bahan baku alami. Ia juga mengingatkan bahwa inovasi tetap harus terjangkau bagi IKM agar dapat diadopsi secara luas.
Dari sisi kebijakan, Achmad menyampaikan bahwa Pusat Industri Hijau memberikan insentif fiskal dan nonfiskal, penyelenggaraan edukasi dan pendampingan industri hijau, serta pemberian penghargaan bagi industri yang telah menerapkan standar industri hijau.
Sedangkan dari sisi dampak lingkungan, Marni menekankan pentingnya pengelolaan dan pemanfaatan daur ulang air limbah hasil produksi batik untuk menjalankan prinsip 3R ( reduce , reuse , recycle ).
Selain aspek-aspek tersebut, Direktur IKM KSK menambahkan tentang pentingnya peran teknologi yang dapat membantu IKM Batik dalam menerapkan prinsip industri hijau. Menurut Budi, teknologi di industri batik yang saat ini ada dan berkembang, telah memberikan dampak efisiensi pada penurunan biaya produksi.
“Saat ini ada beberapa teknologi di bidang industri batik, seperti NADIN ( Natural Dyes Indexation ) sebagai katalog digital pewarna alam, dan ALIMBa ( Aerator Limbah Cair Batik) yang membantu daur ulang air limbah batik untuk digunakan kembali,” tutur Budi.
Demikian siaran pers ini untuk disebarluaskan