Loading...

Penumbuhan wirausaha baru tidak hanya diarahkan untuk memperluas lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga untuk mendukung pelestarian produk budaya lokal seperti batik agar terus relevan dengan kebutuhan pasar modern yang semakin dinamis.

Kementerian Perindustrian terus mendorong lahirnya wirausaha baru sebagai motor penggerak ekonomi daerah sekaligus upaya memperkuat ketahanan industri nasional, dengan berfokus pada penumbuhan pelaku Industri Kecil dan Menengah (IKM) yang mandiri, inovatif, dan berdaya saingPenumbuhan wirausaha baru tidak hanya diarahkan untuk memperluas lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga untuk mendukung pelestarian produk budaya lokal seperti batik agar terus relevan dengan kebutuhan pasar modern yang semakin dinamis.

Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (Ditjen IKMA) bersama Yayasan Batik Indonesia (YBI) berperan aktif dalam memajukan ekonomi daerah dan nasional melalui penumbuhan wirausaha baru berbasis produk kebudayaan lokal, khususnya batik. Salah satu bentuk upaya tersebut dengan penyelenggaraan kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Batik Cap di Pondok Pesantren Darul Fattah, Kota Bandar Lampung, yang diselenggarakan pada tanggal 16 – 20 September 2025. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Gelar Batik Nusantara dan Peringatan Hari Batik Nasional (HBN) 2025 yang puncaknya digelar pada Oktober mendatang.

Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka, Reni Yanita menjelaskan Industri batik merupakan salah satu subsektor yang menunjukkan geliat yang positif, baik di pasar domestik maupun internasional. Hal ini tercermin dari peningkatan nilai ekspor produk batik. Berdasarkan data BPS 2025, pada triwulan II tahun 2025 nilai ekspor produk batik mencapai US$ 5,09 juta, meningkat 27,2 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2024 sebesar US$ 3,99 juta.

“Industri batik memiliki karakter padat karya yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Artinya, sektor ini tidak hanya menjaga identitas budaya, tetapi juga memperluas lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ucap Reni dalam sambutannya pada acara Pembukaan Bimbingan Teknis Batik Cap di Pondok Pesantren di Lampung, Selasa (16/9).

Namun, Reni juga menyoroti tantangan regenerasi perajin batik yang semakin mendesak, mayoritas perajin saat ini berasal dari generasi senior, sementara minat generasi muda masih rendah. “Jika generasi muda tidak tertarik melanjutkan tradisi membatik, maka pengetahuan, keterampilan, dan filosofi batik berisiko hilang. Karena itu, regenerasi perajin menjadi kunci kesinambungan industri batik,” tegasnya.

Menghadapi tantangan tersebut Ditjen IKMA memiliki program penumbuhan wirausaha baru IKM, yang salah satunya dilakukan di pondok pesantren. Sejak tahun 2013 hingga 2024, sebanyak 111 pondok pesantren dan 10.304 santri telah mendapatkan fasilitasi pembinaan termasuk bantuan mesin dan peralatan produksi.

Kegiatan Bimtek Batik Cap di Ponpes Darul Fattah menjadi salah satu implementasi nyata sarana pembekalan keterampilan sekaligus penumbuhan semangat kewirausahaan di lingkungan pondok pesantren. Kegiatan ini melibatkan tiga kelompok utama, yaitu santri tingkat sekolah tinggi, tenaga pengajar dan kependidikan, serta masyarakat sekitar pesantren. Keterlibatan ini diharapkan mampu memperluas manfaat program, sekaligus menjadi contoh nyata bagaimana sebuah lembaga pendidikan dapat mengintegrasikan fungsi pembelajaran dengan pemberdayaan ekonomi.

Reni meyakini upaya penumbuhan wirausaha baru, khususnya wirausaha batik yang merupakan industri padat karya, cocok diterapkan pada kelompok masyarakat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor pendukung yang dimiliki oleh kelompok masyarakat, seperti adanya tujuan bersama, kesadaran kolektif, dan solidaritas yang tinggi.

“Karakter kelompok masyarakat yang masih menjunjung tinggi rasa kebersamaan akan membantu pembinaan wirausaha batik berjalan efektif, karena mereka akan aktif dalam mengembangkan bisnis dan dengan sendirinya menyebarkan ilmu untuk merasakan manfaatnya bersama,” ujar Reni.

Direktur IKM Kimia, Sandang, dan Kerajinan, Budi Setiawan, mengatakan bahwa batik cap dipilih karena proses produksinya relatif lebih sederhana dan cepat dibandingkan batik tulis, serta harga jualnya yang terjangkau masyarakat, sehingga cocok dijadikan keterampilan awal bagi santri.

“Dalam bimtek ini kami juga mengajarkan peserta membuat canting batik cap berbahan kertas karton. Dengan demikian, ponpes bisa mengurangi ketergantungan alat dari luar daerah sekaligus menekan biaya produksi,” ucap Budi.

Sementara itu Pimpinan Yayasan Darul Fattah Lampung, Aryasin menyampaikan, Pesantren Darul Fattah telah memiliki beberapa unit usaha untuk memenuhi kebutuhan internal, namun belum mengembangkan usaha batik meskipun kebutuhan seragam batik selalu ada setiap tahunnya. Bahkan sebagian besar bahan baku dan peralatan batik masih dipasok dari Pulau Jawa.

Dengan adanya bimtek ini, diharapkan dapat memberikan keterampilan nyata kepada para peserta sehingga Ponpes Darul Fattah dapat mandiri dalam penyediaan kebutuhan seragam batik, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan internal pesantren tetapi juga untuk memperluas akses pasar hingga ke tingkat nasional bahkan internasional,” ucap Aryasin.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Pengembangan SDM Yayasan Batik Indonesia (YBI), Titik Imawati menyampaikan apresiasi kepada Kementerian Perindustrian atas dukungannya dalam menjaga budaya batik yang telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. “Penetapan ini perlu kita tindaklanjuti bersama untuk menjaga dan melestarikan batik agar tetap lestari di Indonesia. Adapun Perayaan Hari Batik Nasional (HBN) 2025 yang akan dilaksanakan pada 2 Oktober hingga 30 November 2025 bekerja sama dengan Museum Tekstil, dengan mengangkat tema Batik Merawit,” ucap Titik.

Demikian siaran pers ini untuk disebarluaskan.